Dampak Krisis Global Terhadap Perbankan Nasional
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Sebagai perantara
keuangan dan sistem
keuangan yang memiliki
peran yang sangat strategis
dalam menjaga stabilitas
perekonomian baik pada
saat gejolak ekonomi maupun pasca
krisis terjadi. Krisis keuangan tahun
2008 yang dipicu
oleh krisis kredit
perumahan produk sekuritas dan bangkrutnya beberapa perusahaan besar di
Amerika Serikat yang ikut mempengaruhi
perekonomian di Indonesia, salah satunya adalah sektor industri perbankan.
Sektor industri perbankan
mengalami kesulitan likuiditas seiring dengan
ketatnya likuiditas di
pasar keuangan. Sektor
industri perbankan juga merupakan
sektor yang rentan terhadap risiko karena sektor ini berhubungan dengan tingkat kepercayaan atas pengembalian dana di
masa mendatang. Banyak pihak
memperkirakan bahwa perekonomian
di Indonesia termasuk
indutri perbankan akan terpuruk.
Kelangkaan likuiditas menyebabkan
penurunan kepercayaan di sektor
korporasi dan rumah
tangga terhadap kondisi perekonomian. Menurunnya kapasitas
permintaan dan produksi
di sektor riil
dapat berpotensi kuat terhadap
kualitas aktiva perbankan
di Indonesia. Gejolak keuangan dan penurunan permintaan
akibat krisis keuangan juga mempengaruhi
terdepresiasinya nilai rupiah, tekanan
inflasi yang cukup kuat dan
meningkatnya BI rate. (Dendawijaya, 2006) Perbankan harus
lebih berhati–hati khususnya
berkenaan dengan pelaksanaan
fungsi intermediasi, yaitu penyaluran
dana dalam bentuk kredit yang berhasil
dihimpun oleh perbankan.
Tujuan lembaga keuangan
yang berfungsi Kondisi
perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis menghadapkan
perekonomian Indonesia pada sejumlah tantangan yang tidak ringan selama tahun
2009. Tantangan itu cukup mengemuka pada awal tahun 2009, sebagai akibat masih
kuatnya dampak krisis perekonomian global yang mencapai puncaknya pada triwulan
IV 2008. Ketidakpastian yang terkait dengan sampai seberapa dalam kontraksi
global dan sampai seberapa cepat pemulihan ekonomi global akan terjadi, bukan
saja menyebabkan tingginya risiko di sektor keuangan, tetapi juga berdampak
negatif pada kegiatan ekonomi di sektor riil domestik. Kondisi tersebut
mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada triwulan I 2009 masih
mengalami tekanan berat, sementara pertumbuhan ekonomi juga dalam tren menurun
akibat kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup dalam. Kondisi tersebut
menurunkan kepercayaan pelaku ekonomi di sektor keuangan dan sektor riil, serta
berpotensi menurunkan berbagai kinerja positif yang telah dicapai dalam
beberapa tahun sebelumnya.Menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia dan
Pemerintah menempuh sejumlah kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi
dan sistem keuangan, serta mencegah turunnya pertumbuhan ekonomi yang lebih
dalam melalui kebijakan stimulus moneter dan fiskal. Berbagai kebijakan yang
ditempuh pada tahun 2009 pada dasarnya masih merupakan lanjutan dari
serangkaian kebijakan yang telah ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah pada
triwulan IV 2008. Serangkaian kebijakan yang ditempuh tersebut tidak saja
berhasil menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, tetapi juga
memperkuat daya tahan perekonomian domestik, sehingga kegiatan ekonomi dapat
kembali membaik sejak triwulan II 2009. Keberhasilan tersebut juga tidak
terlepas dari kebijakan yang secara sistematis telah ditempuh untuk memperkuat
fundamental ekonomi dan keuangan pascakrisis 1997/1998. Secara umum,
perekonomian Indonesia tahun 2009 telah mampu melewati tahun penuh tantangan
tersebut dengan capaian yang cukup baik. Meskipun melambat dibandingkan dengan
tahun 2008, pertumbuhan ekonomi tahun 2009 dapat mencapai 4,5%, tertinggi
ketiga di dunia setelah China dan India. Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih
besar di tengah kontraksi perekonomian global dapat dihindari, karena struktur
ekonomi yang banyak didorong oleh permintaan domestik. Setelah mengalami
tekanan berat pada triwulan I 2009, stabilitas pasar keuangan dan makroekonomi
juga semakin membaik sampai dengan akhir tahun 2009. Hal itu tercermin pada
berbagai indikator di sektor keuangan seperti Currency Default Swap (CDS),
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), imbal hasil (yield) SUN, dan nilai tukar
yang membaik. Sementara itu, inflasi juga tercatat rendah 2,78%, terendah
dalam satu dekade terakhir.
Berbagai capaian positif yang mampu diraih perekonomian Indonesia
pada 2009 telah semakin menguatkan optimisme akan berlanjutnya proses perbaikan
kondisi perekonomian ke depan. Optimisme tersebut juga didukung oleh semakin
membaiknya prospek pemulihan ekonomi global. Meskipun demikian, dinamika
perekonomian ke depan masih dihadapkan pada sejumlah tantangan yang berpotensi
menghambat akselerasi perbaikan ekonomi. Dari sisi eksternal, tantangan
terutama berkaitan dengan dampak dari strategi mengakhiri langkah kebijakan
yang ditempuh di masa krisis (exit strategy), yang antara lain berupa
pelonggaran likuiditas dan ekspansi fiskal di negara maju. Tantangan eksternal
juga berhubungan dengan terjadinya kecenderungan polarisasi perdagangan dunia,
serta masih berlangsungnya ketidakseimbangan dalam kinerja perekonomian global.
Dari sisi domestik, tantangan berkaitan dengan beberapa permasalahan yang masih
dapat mengganggu efektivitas kebijakan moneter, seperti masih cukup besarnya
ekses likuiditas perbankan, masih besarnya peranan investasi portofolio dalam
struktur aliran modal masuk, masih munculnya potensi penggelembungan harga aset
di pasar keuangan, masih dangkalnya pasar keuangan, dan berbagai permasalahan
struktural di sektor riil.
Ke depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan meningkat,
sementara stabilitas harga tetap terjaga. Prospek pertumbuhan ekonomi tersebut
didukung oleh semakin pulihnya kinerja ekspor dan mulai meningkatnya kegiatan
investasi. Membaiknya ekspor sejalan dengan perbaikan prospek perekonomian
global termasuk negara-negara maju. Meningkatnya permintaan eksternal dan
menguatnya permintaan domestik diperkirakan mendorong dunia usaha untuk mulai
meningkatkan kapasitas produksi. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan
ekonomi tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,5% - 6,0% (yoy). Meskipun
pertumbuhan ekonomi meningkat, tekanan terhadap inflasi diperkirakan tetap
terkendali dan berada pada kisaran sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 5% ± 1% (yoy).
Dalam perspektif yang lebih panjang, perekonomian Indonesia diprakirakan tetap
membaik karena didukung oleh berbagai upaya peningkatan kapasitas,
produktivitas, dan efisiensi perekonomian secara berkesinambungan. Akselerasi
pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat dan diprakirakan mencapai kisaran 6,5%
– 7,5% (yoy) pada tahun 2014. Peningkatan kapasitas perekonomian tersebut
mendukung upaya menurunkan inflasi ke arah sasaran inflasi jangka menengah 4% +
1% (yoy).
Kebijakan
Bank Indonesia ke depan diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan sebagai prasyarat untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dalam jangka panjang.
Kebijakan moneter akan diarahkan secara konsisten dengan upaya pencapaian
sasaran inflasi yang rendah baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah.
Kebijakan perbankan diarahkan tetap memperkuat ketahanan perbankan sekaligus
meningkatkan fungsi intermediasi perbankan, serta mendorong pendalaman pasar
keuangan. Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk mendukung penciptaan
stabilitas sistem keuangan serta peningkatan efektivitas transmisi kebijakan
moneter. Selain itu, Bank Indonesia akan semakin memperkuat koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah, baik dalam menjaga stabilitas makroekonomi maupun
memperkuat momentum pemulihan ekonomi nasional.
2. Tujuan
Karya
tulis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh yang ditimbulkan dari
dampak krisis gloabal tahun 2009 terhadap perbankan nasional secara khusus dan
perekonomian secara umumnya.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
1.
Pengertian Krisis Ekonomi Global
Krisis ekonomi Global merupakan peristiwa di
mana seluruh sektor ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan dan mempengaruhi
sektor lainnya di seluruh dunia. Ini dapat kita lihat bahwa negara adidaya yang
memegang kendali ekonomi pasar dunia yang mengalami keruntuhan besar dari
sektor ekonominya. Bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan
dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu
saja. [1]Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa saham di
seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang, Hongkong, China,
Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan, mengalami penurunan
drastis 7 sd 10 persen. Termasuk bursa saham di kawasan Timur Tengah, Rusia,
Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS sendiri, Para
investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar.
2.
Analisa
Kondisi Perbankan Nasional Tahun 2009
Selama periode Februari-Juni 2008 laju pertumbuhan
kredit bulanan tercatat sebesar hampir 4 persen, angka ini menurun menjadi
hanya sekitar 2 persen pada periode Juli-Desember2008. Memasuki 2009, pertumbuhan kredit minus 2,1 persen.
Turunnya tingkat pertumbuhan hampir bisa dipastikan juga akan turut mengerek
naik jumlah kredit bermasalah (NPL). Penyebab dari melemahnya pertumbuhan kredit
adalah seretnya likuiditas. Satu hal antara lain diindikasikan dari
berkurangnya lebih dari dua kali lipat ekses likuiditas perekonomian yang disimpan
dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Bank Indonesia, dan fine tuning operation (FTO). Beberapa
pekan terakhir, likuiditas perekonomian memang sedikit tertolong oleh suntikan
devisa dari negara-negara yang melakukan billateral
swap agreement dengan Indonesia seperti Cina. Tambahan dana sebesar 12
miliar dolar AS juga rencananya akan dihasilkan bila komitmen ASEAN Plus 3 bisa
segera direalisasikan. Berbagai suntikan devisa ini akan secara langsung
mengurangi tekanan terhadap likuiditas domestik melalui mekanisme uang inti.
Selain, suntikan dari luar, arus lalu lintas likuditas domestik juga agaknya
banyak terbantu oleh pesta demokrasi Pemilu yang kinitengahhinggarbingardirayakan.
Sayang, aliran likuiditas yang bertambah tidak serta merta bisa diterjemahkan
dalam ekspansi kredit. Persoalannya, krisis global juga menyebabkan semakin
akutnya segmentasi pasar perbankan domestik, yang menyebabkan suku bunga kredit
komersial sulit turun (Baca: deviasi Bank Indonesia Rate dan suku bunga
kredit). Berbagai upaya terobosan yang diupayakan BI untuk mengatasi masalah
ini, termasuk upaya penciptaan satu pooling
fund, belum tanda-tanda menggembirakan. Bank masih saling enggan untuk
meminjamkan dananya, karena profil risiko masing-masing yang belum sepenuhnya
transparan. Solusi komprehensif segmentasi pasar perbankan ini agaknya harus
menunggu sedikit lagi, hingga sah diundangkannya RUU Jaringan Pengaman Sistem
Keuangan yang sampai saat ini masih berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan
berbagai masalah yang ada, tidak mengherankan bila laju pertumbuhan kredit
sepnajang 2009 secara kumulatif bakal melambat di kisaran 15 persen persen.
Begitu pula dengan laju dana pihak ketiga yang hanya sebesar 11 persen. Namun,
sampai sejauh ini, perlambatan pertumbuhan kredit dan pemburukkan NPL tidak
berdampak secara serius pada fundamental sistem perbankan domestik secara
keseluruhan. Secara rata-rata, perbankan domestik masih memiliki rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio ––CAR) yang lebih dari cukup, sebesar
17 persen. Angka ini jauh di atas angka minimal sebesar 8 persen. Bantalan
modal yang besar ini memungkinkan perbankan domestik untuk menyerap berbagai
risiko yang mungkin timbul selama 2009. Pada awal 2009, tingkat NPL juga masih
relatif terkendali dibawah 5 persen, meski sedikit meningkat dari angka 4
persen pada akhir 2008. Fundamental perbankan yang baik ini merupakan modal
yang sangat bernilai untuk mengarungi 2009. Tentu, pada tataran operasional
perbankan, perlu ada upaya lebih untuk memperbaiki kinerja efisiensi ––yang
saat ini masih tergolong cukup rendah dimana rasio BOPO masih sebesar 80an––
serta manajemen resiko dari masing-masing bank. Sebab dari pengalaman mutakhir
yang ada, dalam kasus bank Indover dan Century, runtuhnya sutu bank kerap
disebabkan oleh manajemen resiko yang amburadul bahkan kriminal. Secara
bersamaan, upaya perbaikan di skala mikro ini perlu dibarengi oleh upaya di
tataran makro berupa konsolidasi perbankan. Konsolidasi yang kerap dilakukan
melalui merger selain mengurangi keakutan problem segmentasi pasar perbankan,
juga akan mengurangi beban pengawasanotoritasmoneter. Upaya lain pada tataran
makro yang perlu terus dilanjutkan bahkan diperkuat adalah kebijakan tata
kelola yang berhatihati (prudential regulation), termasuk dalam hal transaksi
derivatif dan valuta asing yang sudah diterapkan. Kebijakan dari BI ini adalah
salah satu yang telah menyelamatkan perbankan nasional hingga saat ini,
sehingga perlu untuk diteruskan dan jangan justru dilonggarkan. Di samping
perbaikan manajemen resiko dan tata kelola bank, ada baiknya BI juga memberikan
arahan sektoral bagi ekspansi kredit sebagai satu petunjuk operasional
perbankan. Guidance ini tentunya harus bersifat spesifik dan berbeda pada
masing-masing daerah. Pada titik ini, kantor-kantor BI yang tersebar di hampir
seluruh pelosok nusantara harus difungsionalisasikan sebagai ujung tombang
dalam memberikan arah sektoral yang bersifat lokal.
Eksistensi perbankan Indonesia akan sangat dipengaruhi
oleh kemampuannya membaca perubahan-perubahan di lingkungan eksternalnya, baik
pada lingkup nasional maupun internasional.Perbahan-perubahan yang penting
untuk dicermati adalah :
- Perubahan struktur dan karakter perekonomian
nasional sebagai akibat dari perubahan struktur insentif pasca-krisis.
- penerapan otonomi daerah.
- fenomena globalisasi dan regionalisas
BAB III
PEMBAHASAN
1.
Penyebab Krisis Global
Putaran krisis ekonomi dan keuangan global pasca kehancurah
Lehman Brothers menimbulkan kekacauan dan kepanikan di pasar keuangan global,
termasuk melibas industri perbankan di Indonesia. Di berbagai negara, aliran
dana dan kredit terhenti, transaksi dan kegiatan ekonomi sehari-hari terganggu.
Aliran dana keluar (capital outflow) terjadi besar-besaran. Indonesia yang saat
krisis tidak memberlakukan penjaminan dana nasabah secara menyeluruh, menderita
capital outflow lebih parah dibanding negara-negara tetangga yang menerapkan
penjaminan dana nasabah secara penuh (blankeet guarantee). Aliran dana keluar
itu membuat likuiditas di dalam negeri semakin kering dan bank-bank mengalami
kesulitan mengelola arus dananya.
Situasi krisis ketika itu sampai memukul bank-bank berskala
besar. Pada Oktober 2008, ada tiga bank besar BUMN yakni PT Bank Mandiri Tbk.,
PT Bank BNI Tbk. dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk meminta bantuan likuiditas
dari Pemerintah masing-masing Rp5 triliun. Total dana untuk menginjeksi ketiga
bank tersebut sebesar Rp15 triliun. Dana tersebut bersumber dari uang
pemerintah yang berada di BI. Bantuan likuiditas itu dipakai untuk memperkuat
cadangan modal bank atau memenuhi komitmen kredit infrastruktur tanpa harus
terganggu likuiditasnya. Maksud bantuan likuiditas Pemerintah ini agar ketiga
bank pelat merah tadi tidak perlu mencari pinjaman dari luar negeri. Tapi yang
paling menderita adalah bank-bank menengah dan kecil yang mengalami penurunan
dana simpanan masyarakat. Dana itu lari ke luar negeri atau bank-bank besar,
bahkan yang menarik sampai ada yang menyimpan di safe deposit box karena takut
banknya ditutup. Kesulitan bank-bank menengah-kecil itu semakin diperparah
ketika salah satu sumber pendanaan yang biasanya sangat diandalkan, yakni dana
antarbank atau Pasar Uang Antar Bank (PUAB), berhenti mengalir alias macet.
Kenyataan pahit ini masih diperburuk lagi dengan penurunan kualitas aset-aset
yang dipegang bank. Hal ini pada akhirnya akan memukul modal bank. Pasalnya,
surat-surat berharga yang dikuasai bank seperti SUN, nilainya merosot tajam.
Kondisi ketika itu semakin mencekam karena beredar
rumor-rumor yang berseliweran via email, blog dan SMS perihal daftar bank-bank
yang mengalami kesulitan likuiditas. Dalam suasana seperti itu, tingkat
kepercayaan nasabah bank pun goyah yang diperlihatkan dengan aksi rush. Bahkan,
ada seorang analis pasar dari sebuah perusahaan sekuritas yang ditahan
kepolisian hanya karena dituduh menyebarkan rumor lewat email yang
dikhawatirkan dapat memicu aksi panik masyarakat.
Bahwa terjadi krisis maha dahsyat di Amerika Serikat yang menyebar
ke semua negara di dunia sudah sangat banyak kita baca. Namun tidak banyak yang
menjelaskan tentang sebab-sebabnya, dan juga tidak banyak yang menguraikan
tentang landasan dari sebab-sebab itu, yaitu mashab pikiran atau ideologi yang
memungkinkan dipraktekannya cara-cara penggelembungan di sektor keuangan.
Tentang penyebab krisis global tersebut pada media massa di
negara-negara maju banyak yang mengulasnya. Intinya sebagai berikut. : Bank hipotik
yang mengkhususkan diri memberikan kredit untuk pembelian rumah, dengan
sendirinya mempunyai tagihan kepada penerima kredit yang menggunakan uangnya
untuk membeli rumah. Jaminan atas kelancaran pembayaran cicilan utang pokok dan
bunganya adalah rumah yang dibiayai oleh bank hipotik tersebut. Kita sebut
tagihan ini tagihan primer, karena langsung dijamin oleh rumah, atau barang
nyata. Tagihannya bank hipotik kepada para penerima kredit berbentuk kontrak
kredit yang berwujud kertas. Istilahnya adalah pengertasan dari barang nyata
berbentuk rumah. Karena kertas yang diciptakannya ini mutlak mewakili kepemilikan
rumah sebelum hutang oleh pengutang lunas, maka kertas ini disebut surat
berharga atau security. Pekerjaan mengertaskan barang nyata yang berbentuk
rumah disebutsecuritization of asset. Katakanlah bank hipotik ini bernama Bear Sterns.
Bear Sterns mengkonversi uang tunainya ke dalam kewajiban cicilan utang pokok
beserta pembayaran bunga oleh para penghutang atau debitur. Jadi uang tunai
atau likuiditasnya berkurang. Namun Bear Sterns memegang surat berharga atau
security yang berbentuk kontrak kredit atau tagihan kepada para debiturnya.
Bear Sterns mengelompokkan surat-surat tagihan tersebut ke dalam
kelompok-kelompok yang setiap kelompoknya mengandung surat tagih dengan tanggal
jatuh tempo pembayaran yang sama. Setiap kelompok ini dijadikan landasan untuk
menerbitkan surat utang yang dijual kepada Lehman Brothers (misalnya) dan
bank-bank lain yang semuanya mempunyai nama besar. Yang sekarang dilakukan oleh
Bear Sterns bukan menerbitkan surat piutang, tetapi surat janji bayar atau
surat utang. Atas dasar surat piutang kepada ratusan atau ribuan debiturnya,
Bear Sterns menerbitkan surat utang kepada Lehman. Uang tunai hasil hutangnya
dari Lehman dipakai untuk memberi kredit lagi kepada mereka yang membutuhkan
rumah. Seringkali untuk membeli rumah kedua, ketiga oleh orang yang sama,
sehingga potensi kreditnya macet bertambah besar. Penerbitan surat berharga
berbentuk surat janji bayar atau promes disebut securitization of security.
Bahasa Indonesianya yang sederhana “mengertaskan kertas.” Surat berharga ini kita
namakan surat berharga sekunder, karena tidak langsung dijamin oleh barang yang
berbentuk rumah, melainkan oleh kertas yang berwujud surat janji bayar oleh
bank hipotik yang punya nama besar. Lehman memegang surat utang dari Bear Sterns dan
juga dari banyak lagi perusahaan-perusahaan sejenis Bear Sterns. Seluruh surat
ini dikelompokkkan lagi ke dalam wilayah-wilayah geografis, misalnya kelompok
debitur California, kelompok debitur Atlanta dan seterusnya. Oleh Lehman
kelompok-kelompok surat-surat utang dari bank-bank ternama ini dijadikan
landasan untuk menerbitkan surat utang yang dibeli oleh Merril Lynch dan
bank-bank lainnya dengan nama besar juga. Kita namakan surat utang ini surat
utang tertsier.Demikianlah seterusnya, satu rumah sebagai jaminan menghasilkan
uang tunai ke dalam kas dan bank-bank ternama dengan jumlah keseluruhan yang
berlipat ganda. Media massa negara-negara maju menyebutkan bahwa bank-bank
tersebut melakukan sliced and diced, yang secara harafiah berarti bahwa satu
barang dipotong-potong dan kemudian masing-masing diperjudikan. Maka banyak
bank yang debt to equity ratio-nya 35 kali.Sekarang kita bayangkan adanya
pembeli rumah yang gagal bayar cicilan utang pokok beserta bunganya. Kalau satu
tagihan dipotong-potong (sliced) menjadi 5, yang masing-masing dibeli oleh
bank-bank yang berlainan, maka gagal bayar oleh satu debitur merugikan 5 bank.
Ini sebagai contoh. Dalam kenyataannya bisa lebih dari 5 bank yang terkena
kerugian besar, karena kepercayaan bank-bank besar di seluruh dunia kepada
nama-nama besar investment banks dan hedge funds di AS. Dampak pertama adalah
bahwa bank tidak percaya pada bank lain yang minta kredit kepadanya melalui
pembelian surat berharganya. Ini berarti bahwa bank-bank yang tadinya
memperoleh likuiditas dari sesama bank menjadi kekeringan likuiditas, sedangkan
bank-bank yang termasuk kategori investment bank atau hedge fund tidak
mendapatkan uangnya dari penabung individual, tetapi dari bank-bank komersial
atau sesama investment bank atau sesama hedge funds. Jadi dampak pertama adalah
kekeringan likuiditas. Dampak kedua adalah bahwa bank yang menagih piutangnya yang sudah
jatuh tempo tidak memperoleh haknya, karena bank yang diutanginya tidak mampu
membayarnya tepat waktu, karena pengutang utamanya, yaitu individu yang membeli
rumah-rumah di atas batas kemampuannya memang tidak mampu memenuhi
kewajibannya. Lembaga-lembaga keuangan di Amerika Serikat dengan sadar
memberikan kredit rumah kepada orang yang tidak mampu. Itulah sebabnya namanya
subprime mortgage. Sub artinya di bawah. Prime artinya prima atau bonafid. Jadi
dengan sadar memang memberikan kredit rumah kepada orang-orang yang tidak
bonafid atau tidak layak memperoleh kredit. Bahwa kepada mereka toh diberikan,
bahkan berlebihan, karena adanya praktek yang disebut sliced and diced tadi.
Dampak kedua ini, yaitu bank-bank gagal bayar kepada sesama bank mengakibatkan
terjadinya rush oleh bank-bank pemberi kredit, antara lain kepada Lehman
Brothers. Maka Lehman musnah dalam waktu 24 jam.Ketika surat utang inferior
yang disebut subprime mortgage macet, barulah ketahuan bahwa begini caranya
memompakan angin ke dalam satu surat utang yang dijual berkali-kali dengan laba
sangat besar.Ketika balon angin keuangan meledak, Henry Paulson sudah menjabat
menteri keuangan AS. Dia melakukan tindakan-tindakan yang buat banyak orang
membingungkan, tetapi buat beberapa orang, dia manusia yang hebat, tegas, dan
menurutnya sendiri bersenjatakan bazooka. (Newsweek tanggal 29 September 2008
halaman 20). Ada alasan untuk menganggapnya orang hebat. Dia mahasiswa Phi Beta
Kappa dari Dartmouth. Penghubung antara gedung putihnya Nixon dan Departemen
Perdagangan. MBA dari Harvard, bergabung dengan Goldman Sachs Chicago di tahun
1974, menjadi CEO-nya dari 1998 sampai 2006. Dan sekarang menteri keuangan AS. Maka dialah
yang ketiban beban berat menghadapi krisis yang maha dahsyat yang sedang
berlangsung. Tindakan-tindakannya seperti semaunya sendiri atau bingung. Dia
memfasilitasi JP Morgan untuk membeli Bear Sterns dengan harga hanya US$ 2 per saham,
yang dalam waktu singkat direvisi menjadi US$ 10. Fannie Mae dan Freddie Mac,
perusahaan quasi milik pemerintah telah memberikan jaminan kredit sebesar US$
5,4 trilyun. Untuk menyelamatkannya dua perusahaan penjaminan kredit tersebut
dibeli oleh pemerintah dengan jumlah uang US$ 80 milyar. Lehman Brothers
disuruh bangkrut saja. Merril Lynch dijual kepada Bank of America. Akhirnya dia
menyodorkan usulan supaya pemerintah AS menyediakan uang US$ 700 milyar untuk
menanggulangi krisis. Kongres marah, karena alasan ideologi. Bagaimana mungkin
bangsa yang kepercayaannya pada keajaiban mekanisme pasar bagaikan agama
mendadak disuruh intervensi dengan uang yang begitu besar? Wall Street guncang
luar biasa. Kongres rapat lagi dan “terpaksa” menyetujui usulan Hank Paulson
dan Bernanke, Presiden Federal Reserve, supaya pemerintah AS menggunakan uang
rakyat pembayar pajaknya sebesar Rp 700 milyar untuk mencoba menyelesaikan
masalah keuangan yang maha dahsyat itu. Saya katakan mencoba, karena setelah
disetujui, Wall Street tetap saja terpuruk. Maka masyarakat menjadi
panik, kepercayaan kepada siapapun hilang. Dengan adanya pengumuman bahwa
perusahaan-perusahaan besar dengan nama besar dan sejarah yang panjang ternyata
bangkrut, saham-sahamnya yang dipegang oleh masyarakat musnah nilainya.
Masyarakat bertambah panik. Seperti telah dikemukakan sangat banyak
kertas-kertas derivatif diciptakan oleh bank-bank dengan nama besar, sehingga
tanpa ragu banyak bank-bank besar di seluruh dunia membelinya sebagai investasi
mereka. Kertas-kertas berharga ini mendadak musnah harganya, sehingga banyak
bank yang menghadapi kesulitan sangat kritis.
2.
Sektor Perbankan
Direktur
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah
mengatakan angka sementara kredit bulan kelima tahun ini menunjukkan
tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun lalu. Berdasarkan catatan bisnis,
Halim pernah menyampaikan pertumbuhan kredit dalam 4 bulan pertama tahun ini
hanya naik Rp.5 triliun. Artinya dalam sebulan realisasi kredit perbankan
rata-rata hanya naik Rp. 1,25 triliun. Dengan realisasi kredit Mei sebesar Rp.3 triliun berarti ada peningkatan
hamper tiga kali lipat dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya,
sehingga pembiayaan perbankan dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun. Total kredit perbankan hingga Mei
menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan penerusan. Namun, angka itu
masih tercatat menurun jika dibandingkan dengan posisi November 2008 yang
pernah mencapai titik puncak sebesar Rp. 1.371,9 triliun. Halim menyampaikan kondisi
likuiditas perbankan masih belum banyak berubah dibandingkan dengan posisi
April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih tumbuh 17%-18%. Dengan
pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp.
1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6
triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp.
1.786 triliun.
3.
Kebijakan Bank Indonesia dalam Menghadapi
Krisis Global
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter
yang mempunyai independensi dari pemerintah mempunyai kewajiban menjaga
stabilitas moneter serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat
meminimalisir dampak dari krisis global. Bank Indonesia telah menerapkan
beberapa kebijakan, yakni: Pertama,
Kebijakan dalam sektor moneter. BI mengarahkan kebijakan pada penurunan tekanan
inflasi yang didorong oleh tingginya permintaan agregat dan dampak lanjutan
dari kenaikan harga BBM yang sempat mendorong inflasi mencapai 12,14 persen
pada bulan September 2008. Untuk mengantisipasi berlanjutnya tekanan inflasi,
BI menaikkan BI rate dari 8 persen secara bertahap menjadi 9,5 persen pada
Oktober 2008. Dengan kebijakan moneter tersebut ekspektasi inflasi masyarakat
tidak terakselerasi lebih lanjut dan tekanan neraca pembayaran dapat dikurangi. Selanjutnya,
memasuki triwulan II-2008, seiring dengan turunnya harga komoditi dunia serta
melambatnya permintaan agregat sebagai imbas dari krisis keuangan global,
BI memperkirakan tekanan inflasi ke depan menurun, sehingga BI Rate pada bulan
Desember 2008 diturunkan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 9,25 bps. Kedua, Kebijakan dalam sektor perbankan. Kebijakan tersebut diarahkan
pada upaya memperkuat ketahanan sistem perbankan, khususnya dalam upaya
persiapan implementasi Basel II. Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the
1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat
lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif
terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini
dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian
kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur
yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional. Basel II
bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan
menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory
review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan
forward-looking approach yang memungkinkan untuk melakukan penyempurnaan dan
penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel
II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun
perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko. Kebijakan dalam sektor
perbankan lainnya adalah meningkatkan kapasitas pelayanan industri perbankan
syariah. Sistem perbankan syariah terbukti lebih tahan terhadap hantaman
krisis. Sistem perbankan ini juga sudah mulai digiatkan oleh negara-negara
non-muslim seperti Inggris, Italia, Hong Kong, China, Malaysia, dan Singapura.
Bahkan menurut anggota Komite Ahli Bank Indonesia, perbankan syariah tetap
stabil di saat krisis global berlangsung dikarenakan perbankan syariah
merupakan pilihan yang komprehensif, progresif, dan menguntungkan. Seiring dengan
semakin dalamnya tekanan krisis global, sejak semester II-2008, kebijakan
perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global pada perbankan
domestik. Keketatan likuiditas yang terjadi akibat krisis disikapi BI dengan
mempermudah akses bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap
fasilitas pendanaan. Namun upaya tersebut tetap dilakukan BI dengan
memperhatikan risiko yang terjadi pada perbankan nasional serta dampak yang
lebih luas pada perekonomian rakyat. Untuk itu, upaya menjaga ketersediaan
pendanaan bagi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai bantalan
perekonomian rakyat, juga senantiasa dicermati. Terkait dengan kebijakan
di sektor perbankan ini, BI telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang
bertujuan untuk memberikan ruang bagi perbankan dalam menyalurkan kredit dengan
tetap memperhatikan unsur kehati-hatian dan kestabilan ekonomi secara umum.
Ketentuan-ketentuan tersebut mencakup beberapa hal seperti: memperpanjang masa
transisi penerapan Basel II untuk perhitungan beban modal risiko operasional,
menyederhanakan tatacara pembukuan kantor bank (termasuk syariah), menyesuaikan
bobot Aset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) untuk Kredit Usaha Kecil dengan
skim penjaminan, menyesuaikan tatacara penilaian kredit dalam jumlah tertentu,
memberikan fasilitas transaksi USD repurchase agreement (repo) bank kepada BI,
dan mengurangi kewajiban pembentukan penyisihan penghapusan aktiva non
produktif. Selanjutnya ketentuan-ketentuan tersebut akan diikuti dengan langkah
pengaturan secara lebih mendalam, terkait dengan upaya peningkatan transparansi
perbankan, penguatan efektifitas manajemen risiko likuiditas, dan produk-produk
derivatif perbankan. Dengan demikian diharapkan seluruh pelaku industri
perbankan, baik bank umum konvensional maupun syariah, akan memiliki ruangan
yang cukup untuk menjalankan fungsi intermediasinya tanpa mengesampingkan
prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, sebagai prioritas utama. Ketiga, Kebijakan di sektor pembayaran. Bank Indonesia turut
berupaya mencegah terjadinya guliran krisis global terhadap kelancaran sistem
pembayaran nasional. Dalam mencegah risiko sistemik dari risiko gagal bayar
peserta yang cenderung meningkat pada kondisi krisis dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, BI telah melakukan perubahan jadwal setelmen sistem
pembayaran pada hari tertentu. Kebijakan BI dalam sistem pembayaran terus
dilakukan untuk meningkatkan pengedaran uang yang cepat, efisien, aman, dan
handal, meningkatkan layanan kas prima, dan meningkatkan kualitas uang.
Sementara kebijakan non tunai diarahkan untuk memitigasi risiko sistem
pembayaran melalui pengawasan sistem pembayaran, mengatur kegiatan money
remittances, meningkatkan efisiensi pengelolaan rekening pemerintah, dan
meningkatkan pembayaran non tunai. Sebagai Bank Sentral, BI memang mempunyai tanggung
jawab dalam membuat kebijakan-kebijakan dalam menstabilkan kondisi moneter
Indonesia. Dengan demikian diharapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat BI
merupakan kebijakan yang strategis dan tepat sasaran dalam meminimalisir dampak
krisis keuangan. Kebijakan moneter yang diambil BI juga diharapkan dapat
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sektor riil dan selanjutnya pada
kesejahteraan masyarakat. (Catatan : Bahan tulisan ini, antara lain bersumber
dari laporan Bank Indonesia).
4.
Stabilisasi Moneter
Pemerintah melalui Bank Indonesia akan menempuh beberapa langkah, yaitu
memperkuat likuiditas sektor perbankan, yaitu menjaga pertumbuhan kredit pada
tingkat yang sesuai untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi, dan mengambil
kebijakan neraca pembayaran.Upaya tersebut diantaranya adalah :
a. Antisipasi pengeringan likuiditas global dengan
memperkuat sektor perbankan, pertumbuhan kredit dijaga pada level yang tetap mampu
mendukung pertumbuhan ekonomi.
b. Pencarian pembiayaan defisit anggaran pendapatan dan
belanja negara dari sumber nonpasar dan sumber-sumber pembiayaan lainnya,
karena pembiayaan melalui penerbitan surat utang makin sulit dilakukan.
c. Pemantauan neraca pembayaran dengan menjaga momentum
arus modal ke dalam negeri.
d. Pemantauan
penggunaan anggaran kementerian dan lembaga negara.
Berkaitan
dengan pengeringan likuiditas di pasar keuangan dan perbankan, BI
menyederhanakan aturan Giro Wajib Minimum (GWM) untuk menambah kepercayaan
diri bank terhadap kondisi likuiditas perbankan yang melemah akibat krisis
keuangan global. Giro Wajib Minimum (statutory reserve) adalah simpanan
minimum yang harus dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada
Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase
tertentu dari Dana Pihak Ketiga (DPK) bank. Langkah lain yang ditempuh Bank Indonesia diantaranya adalah membuka ruang
untuk repo Surat Utang Negara (SUN) atau SBI yang diperpanjang masa berlakunya
hingga tiga bulan. Untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan 2009, Bank Indonesia
memastikan bahwa inflasi tahun 2009 terkendali pada kisaran 6,5-7,5 persen.
Dengan pertimbangan tetap mewaspadai gejolak yang terjadi saat ini dan tetap
fokus menjaga nilai rupiah yang tercermin dari inflasi dan nilai tukar. Dan yang terakhir,
BI Rate disesuaikan menjadi 9,5 persen agar suku bunga riil tetap terjaga pada
kisaran 2-2,5 persen. Dalam jangka pendek,
kenaikan BI Rate ditujukan untuk menurunkan ekspektasi inflasi pelaku
pasar. Ekspektasi inflasi yang tinggi telah membuat nilai tukar jatuh melewati
batas psikologis Rp9.500 per dollar AS. Padahal, inflasi tinggi amat
berbahaya, karena dapat menurunkan nilai aset yang dimiliki masyarakat golongan
bawah.
BAB IV
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Setelah membaca
makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Krisis ekonomi Global merupakan peristiwa di mana seluruh sektor
ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan dan mempengaruhi sektor lainnya di
seluruh dunia
b. Krisis ekonomi Global terjadi karena permasalahan ekonomi pasar di sluruh dunia yang tidak dapat dielakkan karena kebangkrutan maupun adanya situasi ekonomi yang carut marut.
c. Sektor yang terkena imbasan Krisis Ekonomi Global adalah seluruh sektor bidang kehidupan. Namun yang paling tampak gejalanya adalah sektor bidang ekonomi dari terkecil hingga yang terbesar.
b. Krisis ekonomi Global terjadi karena permasalahan ekonomi pasar di sluruh dunia yang tidak dapat dielakkan karena kebangkrutan maupun adanya situasi ekonomi yang carut marut.
c. Sektor yang terkena imbasan Krisis Ekonomi Global adalah seluruh sektor bidang kehidupan. Namun yang paling tampak gejalanya adalah sektor bidang ekonomi dari terkecil hingga yang terbesar.
d. Cara mengatasi permasalah Krisis ekonomi bagi masyarakat adalah
lebih selektif dalam memenuhi kebutuhan dan bersikap kooperatif bersama
pemerintah dan sebaliknya dari pemerintah untuk lebih sigap dalam situasi
masyarakat.
e. Sebagai mahasiswa kita harus kritis dan menanggapi dengan cepat permasalahan kehidupan yang terjadi saat ini khususnya krisis ekonomi global ini. Paling tidak dari hal kecil, sehingga untuk hal besar kita akan lebih siap menghadapinya.
e. Sebagai mahasiswa kita harus kritis dan menanggapi dengan cepat permasalahan kehidupan yang terjadi saat ini khususnya krisis ekonomi global ini. Paling tidak dari hal kecil, sehingga untuk hal besar kita akan lebih siap menghadapinya.
2. Saran
Sebagai insan kritis dan intelektual, kita harus menyadari dan
mengakui dampak hebat dari krisis ekonomi global ini. Karena ini bukan saja
merupakan masalah negara saja, kita sebagai rakyat yang juga terkena akibat
dari krisis ini. Sehingga menjadi kewajiban kita untuk ambil bagian dalam
mencari pemecahan persoalan dalam permasalahan ini.
Dalam persoalan sehari-hari kita sebagai rakyat melakukan sesuatu
apa adanya. Dengan cara menghemat dan selektif dalam memilih kebutuhan pokok
khususnya, adalah salah satu cara kita menghadapi krisis ekonomi global. Saran
bagi pemerintahan adalah untuk lebih memperhatikan sektor usaha kecil yang
sejujurnya hampir tidak terlirik oleh pemerintah yang terlalu memprioritaskan
usaha raksasa (perusahaan) , BUMN, dan jasa umum. Padahal sektor usaha kecil
adalah salah satu sumber mata pencaharian rakyat yang harusnya dibesarkan.
Usaha kecil dimungkinkan untuk menarik banyak investor untuk menanamkan
modalnya, sehingga rakyat menjadi mandiri dan pemerintah menjadi lebih
diringankan untuk permasalahan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk selanjutnya
pemerintah tinggal menjalankan program kerja untuk mengatasi krisis global
tersebut sehingga rakyat dan pemerintah menjadi partner dalam menanggulangi
permasalahan ini. Kepada masyarakat untuk tetap bersabar terhadap situasi permasalahan
kita ini dan mempercayakan segala sesuatu kepada pemerintah. Dan dimulai dari
pribadi dan diri sendiri, untuk mengikuti saran yang telah dituliskan di atas.
Dan bagi para mahasiswa untuk menjadi lebih kritis. Semoga makalah ini menjadi
kajian yang baik meskipun masih terdapat kekurangan. Atas perhatian dari
seluruh pihak, kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Artikel Perbankan
Nasional, 2009
Bank Indonesia, Arsitek Perbankan
Indonesia, 2006, Bank Indonesia, Jakarta
Bisinis
Indonesia, 8 Juni 2009 hal 2, “Indonesia Cepat Lalui Krisis”
Bisnis
Indonesia, 3 Juni 2009 hal 4, “Kredit Mulai Tumbuh”
Bisnis
Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “Rupiah Tembus Level 9.000/US$”
Design, Suryo.2009.Analisa dan
dampak krisis global.Bandung
Humas Bank
Indonesia.2010. Krisis Global dan
Penyelamatan Sistem Perbankan.Jakarta
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20091001212136AAAa128
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8B6EA83F-52D0-4DA9-8E69- 1DBEE89F0FBE/8136/cetakbirups.pdf
http://www.depkeu.go.id/ind/
( 6 April 2009)
http://www.pkesinteraktif.com/content/view/4142/36/lang,id/
Jacko
Agun,” http://jackoagun.multiply.com/journal/item/34 “Krisis Global dan
Cara Mengatasinya (versi
Pemerintah)
Kompas, 15
Juni 2009 hal 21, “Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar”
Laporan Tahunan Bank
Indonesia 2008, Jakarta
Lewis, Mervyn K. Dan Latifa
M.Algoud, Perbankan Syariah Prinsip dan
Prospek,
2007, Serambi Ilmu, Jakarta.
Mankiw,N.Gregory.1990.Teori Makroekonomi Edisi Kelima.Jakarta:Penerbit
Erlangga.
Komentar
Posting Komentar